Rabu, 19 Oktober 2016

MANUSIA MAKHLUK OTONOM

MANUSIA MAKHLUK OTONOM 

                  Sebagai makhluk otonom, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sikap, dengan kata lain, ia adalah makhluk yang mandiri. Secara etimologi, Otonomi berasal dari bahasa Yunani “autos” yang artinya sendiri, dan “nomos” yang berarti hukum atau aturan, jadi pengertian otonomi adalah pengundangan sendiri. Otonom berarti berdiri sendiri atau mandiri. Jadi setiap orang memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri. Ia harus dapat menjadi tuan atas diri. Berbicara mengenai manusia bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana, karena manusia banyak memiliki keunikan. Keunikan tersebut dinyatakan sebagai kodrat manusia. Manusia sulit dipahami dan dimengerti secara menyeluruh tetapi manusia mempunyai banyak kekuatan-kekuatan spiritual yang mendorong seseorang mampu bekerja dan mengembangkan pribadinya secara mandiri. Arti otonom adalah mandiri dalam menentukan kehendaknya, menentukan sendiri setiap perbuatannya dalam pencapaian kehendaknya.

                  Allah telah memberikan akal budi yang membuat manusia tahu apa yang harus dilakukannya dan mengapa harus melakukannya. Dengan kemampuan akal budinya, manusia mampu membedakan hal baik dan buruk dan membuat keputusan berdasarkan suara hatinya dan mampu bersikap kritis terhadap berbagai pilihan hidup. Manusia adalah makhluk hidup, yang mampu memberdayakan akal budinya, maka manusia mempunyai berbagai kemampuan, yakni mampu berpikir, berkreasi, berinovasi, memberdayakan kekuatannya sehingga manusia tidak pernah berhenti. Allah memberi kebebasan kepada manusia. Meskipun kebenaran itu dari Allah, namun Allah tidak pernah memaksa manusia untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang ingin beriman, maka imanlah. Siapa yang ingin kafir, maka kafirlah. Pun demikian, Allah menciptakan manusia menurut fitrah beragama tauhid. Semua bayi yang lahir, mempunyai kesiapan untuk beragama Islam. Ketika ia besar, ia menjadi kafir atau memeluk agama selain Islam, maka itu adalah karena didikan dari orang tuanya.
Karena sesungguhnya, Allah tidak pernah menganiaya hamba-Nya. Jika ia sampai masuk ke neraka, itu tak lain karena ia sendirilah yang telah menganiaya dirinya sendiri.
Allah berfirman, “Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih.” (QS Al Insyiqaaq 24)
Nikmat Allah sangat banyak dan sangat kita rasakan sebagai umat manusia. Diantaranya seperti nikmat hidup untuk semua mahluk hidup di dunia ini dan tanpa terkecuali. Fasilitas hidup di dunia juga yang sangat kita perlukan seperti halnya oksigen dan air. Oksigen dan air sebenarnya adalah nikmat yang seutuhnya Allah berikan untuk kita, namun karena keserakahan manusia, semua hal itu terasa semakin susah kita dapatkan. Layaknya air bersih yang sebenarnya nikmat dari Allah secara cuma-cuma, menjadi kebutuhan yang susah didapat bagi beberapa wilayah. Mereka harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya untuk mendapatkan air bersih dan juga membayar mahal untuk itu.
Kita sering sekali terkadang terlena dan menyepelekan beberapa nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Seperti halnya nikmat akal yang hanya diberikan kepada umat manusia. Akal yang sudah dibedakan menjadi akal baik dan buruk, terkadang digunakan untuk mencari dan melakoni hal yang tidak baik. Padahal, sebagai manusia kita sudah dipercaya oleh Allah untuk bisa membedakan mana hal baik dan buruk. Kita hanya bisa bicara “ini baik, ini buruk” tanpa melakukannya dengan sebenar-benarnya.
                  Nikmat Allah juga sudah dijelaskan pada Al-Qur’an, yaitu pada Surat Al-Qashash ayat 56-66 :
  إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (٥٦) وَقَالُوا إِنْ نَتَّبِعِ الْهُدَى مَعَكَ نُتَخَطَّفْ مِنْ أَرْضِنَا أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَى إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ كُلِّ شَيْءٍ رِزْقًا مِنْ لَدُنَّا وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ (٥٧) وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ بَطِرَتْ مَعِيشَتَهَا فَتِلْكَ مَسَاكِنُهُمْ لَمْ تُسْكَنْ مِنْ بَعْدِهِمْ إِلا قَلِيلا وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ (٥٨) وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ (٥٩)
56. [1]Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
57. Dan mereka[2] berkata, "Jika kami mengikuti petunjuk bersama engkau, niscaya kami akan diusir[3] dari negeri kami.” (Allah berfirman), “Bukankah Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam tanah haram (tanah suci) yang aman[4], yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) sebagai rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
58. Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya[5] yang telah Kami binasakan, maka itulah tempat kediaman mereka yang tidak didiami (lagi) setelah mereka, kecuali sebagian kecil[6]. Dan Kamilah yang mewarisinya[7].”
59. [8]Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri, sebelum Dia mengutus seorang rasul di ibukotanya[9] yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka[10]; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan (penduduk) negeri; kecuali penduduknya melakukan kezaliman[11].
Adapun juga nikmat yang juga seringkali dilupakan manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang. Disaat kita sehat, terkadang kita lupa segalanya. Semua terasa berjalan dengan lancar, tanpa masalah. Juga dengan kesehatan kita itu, kita mengabaikannya dengan pola hidup tidak sehat dan merasa seolah tindakan kita itu benar. Dan apabila sudah jatuh sakit, barulah terasa banyak hambatan dan ternyata sehat itu segalanya. Begitupun dengan waktu senggang, manusia seringkali menjalaninya dengan salah. Sebenarnya, jika ada waktu senggang yang sebenarnya merupakan nikmat dari Allah, kita diharapkan mampu mengisi waktu luang tersebut dengan kegiatan positif. Sebelumnya kita mungkin sangat lelah dengan beribu aktivitas kita, namun disaat ada waktu senggang? Ya, kita memang terkadang salah tanpa kita sadari. Seringkali umat manusia malah mengambil kegiatan negatif yang merugikan dirinya sendiri. Parahnya lagi, terkadang umat manusia seolah merencanakan hal-hal negatif yang dapat dilakukannya dalam waktu senggang, seperti misalnya mencuri, membunuh, dan lainnya yang buruk.

MANUSIA MAKHLUK SOSIAL

MANUSIA MAKHLUK SOSIAL
Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki karakter yang unik, yang berbeda satu dengan yang lain (bahkan kalaupun merupakan hasil cloning), dengan fikiran dan kehendaknya yang bebas. Dan sebagai makhluk sosial ia membutuhkan manusia lain, membutuhkan sebuah kelompok – dalam bentuknya yang minimal – yang mengakui keberadaannya, dan dalam bentuknya yang maksimal – kelompok di mana dia dapat bergantung kepadanya
Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda tingkat sosialnya. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, dan seterusnya. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan manusia dengan keahlian dan  Kepandaian yang berbeda-bedapula
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Semua itu adalah dalam rangkasaling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya. Demikian pula orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan mengupahnya. Demikianlah seterusnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:
أَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Kebutuhan untuk berkelompok ini merupakan naluri yang alamiah, sehingga kemudian muncullah ikatan-ikatan – bahkan pada manusia purba sekalipun. Kita mengenal adanya ikatan keluarga, ikatan kesukuan, dan pada manusia modern adanya ikatan profesi, ikatan negara, ikatan bangsa, hingga ikatan peradaban dan ikatan agama. Dalam kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al Hujurat:10)
Juga di dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar ra yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Orang muslim itu saudara bagi orang muslim lainnya. Dia tidak menzaliminya dan tidak pula membiarkannya dizalimi.
Dari dalil naqli di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesama muslim dan juga sesama mu’min adalah bersaudara, di mana tentunya kesadaran terhadap hal ini akan memberikan konsekuensi berikutnya.
Penyebutan secara eksplisit adanya persaudaraan antar sesama muslim (dan mu’min) di dalam Al Qur’an dan Hadits menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa sebuah komunitas (bisa berbentuk negara) hanya akan eksis dengan adanya kesatuan dan dukungan elemen-elemennya. Sedang kesatuan dan dukungan ini tidak akan lahir tanpa adanya rasa saling bersaudara dan mencintai. Namun persaudaraan inipun perlu didahului oleh suatu faktor pemersatu, berupa ideologi atau aqidah[.
Dalam rangka menjalin hubungan sosial dalam maknanya yang umum – ada beberapa tahapan konseptual yang perlu diperhatikan. Secara garis besar tahapan tersebut dapat dibagi menjadi:
  1. Ta’aruf
Ta’aruf dapat diartikan sebagai saling mengenal. Dalam rangka mewujudkannya, kita perlu mengenal orang lain, baik fisiknya, pemikiran, emosi dan kejiwaannya. Dengan mengenali karakter-karakter tersebut,
Dalam Surat Al Hujurat, Allah berfirman:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat:13)
Ta’aruf ini perlu kita lakukan dari lingkungan yang terdekat dengan kita. Dengan keluarga, dengan lingkungan sekolah atau tempat bekerja, hingga berta’aruf dalam komunitas yang lebih luas,
Di era sekarang ini hal ini sudah hampir tidak diperhatikan apalagi masalah ta’aruf, diwilayah perkotaan, oran-orang sibuk memikirkan kepentingannya peribadi dan tidak memperdulikan lingkungan sekitarnya seperti yang bisa lihat di daerah perumahan (real estate) semua hidup dengan serba individulaistik.
  1. Tafahum
Pada tahap tafahum saling memahami), kita tidak sekedar mengenal saudara kita, tapi terlebih kita berusaha untuk memahaminya. Sebagai contoh jika kita telah mengetahui tabiat seorang rekan yang biasa berbicara dengan nada keras, tentu kita akan memahaminya dan tidak menjadikan kita lekas tersinggung. Juga apabila kita mengetahui tabiat rekan lain yang sensitif, tentu kita akan memahaminya dengan kehati-hatian kita dalam bergaul dengannya.
Perlu diperhatikan bahwa tafahum ini merupakan aktivitas dua arah. Jadi jangan sampai kita terus memposisikan diri ingin difahami orang tanpa berusaha untuk juga memahami orang lain.

2.               2. Ta’awun 

Ta’awun atau tolong-menolong merupakan aktivitas yang sebenarnya secara naluriah sering (ingin) kita lakukan. Manusia normal umumnya telah dianugerahi oleh perasaan ‘iba’ dan keinginan untuk menolong sesamanya yang menderita kesulitan – sesuai dengan kemampuannya. Hanya saja derajat keinginan ini berbeda-beda untuk tiap individu.
Dalam surat Al Maidah, Allah berfirman:
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al Maaidah:2)
Dalam hadits:
Artinya: “Dan Allah akan selalu siap menolong seorang hamba selama hamba itu selalu siap menolong saudaranya.”
Juga dalam hadits Ibnu Umar di atas (“al muslimu akhul muslimi …”), seterusnya disebutkan bahwa siapa yang memperhatikan kepentingan saudaranya itu maka Allah memperhatikan kepentingannya, dan siapa yang melapangkan satu kesulitan terhadap sesama muslim maka Allah akan melapangkan satu dari beberapa kesulitannya nanti pada hari qiyamat, dan barangsiapa yang meneyembunyikan rahasia seorang muslim maka Allah menyembunyikan rahasianya nanti pada hari qiyamat.
Dalil naqli di atas memberi encouragement bahkan perintah kepada orang beriman untuk tolong-menolong, yang dibatasi hanya dalam masalah kebajikan dan taqwa. Bentuk tolong-menolong ini bisa dilakukan dengan saling mendo’akan, saling menasihati, juga saling membantu dalam bentuk amal perbuatan.
Dalam hal ini kita perlu memperhatikan hadits shahih dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi.” Aku bertanya, “Ya Rasulullah, menolong orang yang dizalimi dapatlah aku mengerti. Namun, bagaimana dengan menolong orang yang berbuat zalim?” Rasulullah menjawab, “Kamu cegah dia agar tidak berbuat aniaya, maka itulah pertolonganmu untuknya.”
Jadi kita seharusnya berterima kasih jika ada yang menegur kita, bahkan mencegah kita dengan kekuatan manakala kita sedang berbuat kesalahan.

3.           3. Takaful

Takaful ini akan melahirkan perasaan senasib dan sepenanggungan. Di mana rasa susah dan sedih saudara kita dapat kita rasakan, sehingga dengan serta merta kita memberikan pertolongan. Dalam sebuah hadits Rasulullah memberikan perumpamaan yang menarik tentang hal ini, yaitu dengan mengibaratkan orang beriman – yang bersaudara – sebagai satu tubuh.
Dalam hadits:
Artinya: “Perumpamaan orang-orang beriman di dalam kecintaan, kasih sayang, dan hubungan kekerabatan mereka adalah bagaikan tubuh. Bila salah satu anggotanya mengaduh sakit maka sekujur tubuhnya akan merasakan demam dan tidak bisa tidur.”
Unsur pokok di dalam bersosial adalah mahabbah (kecintaan), yang terbagi dalam beberapa tingkatan:
  • Tingkatan terendah adalah salamus shadr (bersihnya jiwa) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan/pertengkaran. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Rasulullah saw bersabda bahwa tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya selama tiga hari, yang apabila saling bertemu maka ia berpaling, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai dengan ucapan salam. Juga dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah saw bersabda bahwa ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala sejengkal pun, yaitu seorang yang mengimami suatu kaum sedangkan kaum itu membencinya, wanita yang diam semalam suntuk sedang suaminya marah kepadanya, dan dua saudara yang memutus hubungan di antara keduanya.
  • Tingkatan berikutnya adalah cinta. Di mana seorang muslim diharapkan mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, seperti dalam hadits: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR muttafaq alaihi)
  • Tingkatan yang tertinggi adalah itsar, yaitu mendahulukan kepentingan saudaranya atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai, sesuatu yang untuk zaman sekarang sering baru mencapai tahap wacana. Patut kita renungkan kisah sahabat nabi dalam sebuah peperangan, di mana dalam keadaan sekarat dan kehausan dia masih mendahulukan saudaranya yang lain untuk menerima air[.
Aktivitas-aktivitas sosial yang  memang merupakan seruan Islam harus dilaksanakan supaya kohevitas social terjaga  diantaranya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
1. Silaturahim
Islam menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun yang jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah dalam dosa-dosa besar.
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Bukhari, Muslim)
2. Memuliakan tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim)
3. Menghormati tetangga
Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum.
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim)
Apa saja yang bisa dilakukan untuk memuliakan tetangga, diantaranya:
- Menjaga hak-hak tetangga
- Tidak mengganggu tetangga
- Berbuat baik dan menghormatinya
- Mendengarkan mereka
- Menda’wahi mereka dan mendo’akannya, dst.
4. Saling menziarahi.
Rasulullah SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qois bin Saad bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluarga Saad bin Ubadah”. Beliau juga berziarah kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim, Jabir bin Abdullah juga sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan betapa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat.
“Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW: Ada seorang berziyarah pada temannya di suatu dusun, maka Allah menyuruh seorang malaikat (dengan rupa manusia) menghadang di tengah jalannya, dan ketika bertemu, Malaikat bertanya; hendak kemana engkau? Jawabnya; Saya akan pergi berziyarah kepada seorang teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya; Apakah kau merasa berhutang budi padanya atau membalas budi kebaikannya? Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata kasih sayang kepadanya karena Allah. Berkata Malaikat; Saya utusan Allah kepadamu, bahwa Allah kasih kepadamu sebagaimana kau kasih kepada kawanmu itu karena Allah” (HR. Muslim).
6 Peduli dengan aktivitas sosial.
Orang yang peduli dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.
“Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad).
7. Memberi bantuan sosial.
Orang-orang lemah mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam ajaran Islam. Kita diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al Maa’un: 1-3).
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut ummatnya untuk menerapkan perilaku-perilaku kebaikan sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa wujud nyata atau buah dari seorang mu’min yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan. Seorang yang menyatakan diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan, menyajikan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Jika setiap orang yang beriman rajin melakukan hal ini, maka tatanan sosial yang di cita-citakan oleh ilmuan-ilmuan sosial akan terujud.
Manusia harus manjalin tiga hubungan yang harmonis dengan tiga elimen didunia ini, diantaranya dengan tuhannya, manusia, dan alam. Alam akan terperlihara ketika manusia sadar bahwa dia membutuhkan alam untuk keberlangsungan hidupnya, terjadi ekploitasi terhadap alam dikarenakan manusia tidak beriman kepada tuhannya, padahal tuhan memberikan anugrah alam ini untuk di urus oleh manusia supaya seimbang dan tidak menimbulkan malapetaka bagi manusia sendiri, seperti dalah hadits nabi saw;
حد ثنا ابو بكر بن ابى شيبة ومسدد المعنى قالا حد ثنا سفيان عن عمرو عن ابى قا بوس مولى لعبد الله بن عمرو عن عبد الله بن عمرو يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم الراحمون يرحموهم الرحمن ارحموا اءهل الرض يرحمكم من فى السماء
Artinya :
Mengajarkan kepada kita abu bakar Ibn Abi syaibah dan musaddad al-ma’na berkata Abu Bakar telah mengajarkan Sufyan dari Umar bin Qabus Maula Lingabdillah dari Abdullah bin Umar sampai Abu Bakar kepada Nabi SAW; Yang merohmat kamu sekalian akan merahmat kamu yaitu allah swt, harus salingDescription: http://cdncache-a.akamaihd.net/items/it/img/arrow-10x10.png menyayangi terhadap ahli bumi maka akan merahmat kepada kamu dzat yang ada dilangit
Dalam kata “ ارحموا” menyatakan bahwa kita harus menyayangi terhadap segala apa yang ada dimuka bumi ini, baik terhadap manuisa, hewan, tumbuhan , dan lain-lain yang dikatergarikan sebagai makhluk yang ada dimuka bumi ini.
Manusia mengekplotasi alam sekitarnya maka dia sesungguhnya telah berbuat dholim pada dirinya dan tidak menyayangi terhadap alam, contoh, banjir yang melanda banyak daerah di Indonesia, karena manusia telah mengekplotasi alam dengan menebang pohon yang tidak memperhatikan keseimbangan alam dalam artian manusia tidak memakai etika tetang tata cara pemakaian sumberdaya alam.
Untuk menciptakan tatanan social yang tentram dan yaman bagi semuanya manusia dituntuk untuk menjaga lisan, tangan, darah dan hartanya seperti hadis rasullah
حد ثنا قتيبة حد ثنا الليث عن ابن عجلان القعقاع بن حكيم عن ابي صالح عن ابى هريرة قال قال رسول الله عليه وسلم المسلمو من سلم المسلمون من لسنانه ويده والمؤمن من امنه الناس على دمائهم واموالهم
Artinya : telah menagajarkan Kutaibah telah mengajarkan al-Laitsu dari ibnu A’jlan dari Qa’qa’i bin Hakim dari Abi Sholih dari Abi Khurairah berkata Abu Khurairah berkata nabi saw; yang disebut orang muslim adalah orang yagn bisa menjaga lisan dan tangannya dan yang disebut orang mu’min adalah orang yang menjaga darah-darah manusia dan harta-hartanya
حدثنا عبدالرحمن حدثنا شعبة عن سعيد بن ابي بردة عن ابيه عن جده انرسول الله صلى الله عليه وسلم قال على كل مسلم صدقة قال افرايت ان لم يجد قال يعمل بيده فينفع نفسه وتصدق قال افرايت ان لم يستطع ان يفعل قال يعن ذا الحاجة الملهوف قال افرايت ان لم يفعل قال ياء مر بلاخير او بالعدل افرايت ان لم يستطع ان يفعل قال يمسك عن الشر فانه له صد قة
Artinya : mengajrakan Abdurrahman mengajarkan Syu’bah dari Sya’id bin abi Burdah dari ayahnya dari kakekeknya  bahwasannya Rasulallah saw  berkata; setiap orang muslim itu sodaqah, berbicara rasul apakah kamu tidak tahu kalau tidak menjumpai, maka berkata rasul beramal dengan tangan mencari manfaat  terhadap dirinya sadaqah , apa kamu  tidak mengetahui jikau tidak mapu untuk mengerjakannya maka rasul berkata tentukan kebutuhan yang dianiyaya, berkata rasul apa kamu tidak mengetahui  kalau tidak mengerjakan itu berkata rasul, memerintah terhadap kebaikan atau terhadap keadilan, jikalau tidak mampu untuk mengerjakannya maka berhentilah kamu dari berbuat kejelekan maka itu sudah merupakan sadaqah buat kamu.